Monday, November 17, 2008

Sedia Payung Sebelum Hujan


Pepatah lama mengatakan "Sedia payung sebelum hujan". Pepatah ini mengingatkan kita kepada pengertian hendaknya dalam melakukan sesuatu harus dilakukan serangkaian persiapan. Dengan serangkaian persiapan itu diharap apa yang kita lakukan kiranya akan berujung kepada keberhasilan. Paling tidak, sesuatu hambatan atau rintangan selama kita melakukan kegiatan tersebut tidak menjadi kendala yang besar. Demikian kiranya yang dapat kita pahami dari pepatah tersebut.

Kini hampir sebagian wilayah Indonesia sudah mengalami musim penghujan. Kedatangannya sungguh memberikan berkah, terutama wilayah-wilayah yang beberapa waktu kemarin mengalami musim panas yang cukup kering dan menimbulkan kesulitan di sana - sini. Cuaca yang ekstrem dan tak bersahabat selama musim kemarau dengan ditandai suhu mencapai angka 38, bahkan di Kupang sempat mencapai 40 derajat celsius, hujan memberikan sejuta harapan. Tetumbuhan kembali menghijau dan berdaun lebat. Sumur-sumur kembali berair. Aliran sungai dan anak sungai kembali menderas. Tanah tegalan, ladang, kebun, huma, dan sawah kembali siap diolah petani. Dan, pagi hari pun memberikan aroma segar yang dapat memberi semangat dan inspirasi untuk melanjutkan kehidupan.

Akan tetapi, di sejumlah wilayah, hujan bukannya memberikan berkah dan sejuta harapan bagi setiap orang. Hujan justru menjadi petaka. Banjir. Air bah. Longsor.Di Cianjur puluhan rumah dan belasan orang menjadi korban longsor karena hujan semalaman mengguyur daerah mereka. Begitu pun di Samarinda, air hujan mengepung sejumlah lokasi untuk beberapa hari lamanya. Di Sulawesi Selatan hujan menyebabkan beberapa ruas jalan tergerus air hujan yang berujung menjadi air bah. Begitu pun di sejumlah wilayah lainnya sepertinya hujan menjadi sebuah ancaman besar yang siap melumat para korban dari Sabang sampai Meurauke. Ada apa ini?

Sedia payung sebelum hujan. Sepertinya pepetah ini hanya ada di mulut dan kepala semata. Tidak menjadi sebuah pemahaman dan pembelajaran sehingga selalu saja pepatah tersebut hanya tinggal sebuah kalimat yang tak memiliki makna bagi kehidupan.

Banjir, longsor, air bah, dan bencana lainnya karena turunnya hujan selalu yang menjadi pemicu adalah karena ekosistem yang sudah timpang. Kantong-kantong air alami berubah menjadi lahan perumahan dan perkantoran. Resapan-resapan air tertutup oleh semen, beton, dan aspal. Gunung, lereng, bukit, dan lembah tak kuat lagi menahan gerusan air hujan sehingga bencana menghadang. Gelondongan kayu diangkut ke pabrik dan tungku. Tunggul-tunggul tetumbuhan dibabat habis demi lembaran uang. Lalu siapa yang harus disalahkan; apakah memang datangnya air hujan benar membawa petaka atau memang ulah manusia yang tidak semestinya?

Mari, kita bijak dengan alam!

No comments: