Sunday, March 9, 2008

Gaya Elite Politik Meraup Suara

Siapa yang tidak gerah dengan situasi dan kondisi Indonesia dewasa ini? Lebih-lebih dengan situasi perpolitikan. Di beberapa kabupaten dan propinsi di wilayah Indonesia terus berlangsung kegiatan pemilihan kepala pemerintahan. Para calon bupati/walikota dan atau gubernur melakukan serangkaian kegiatan kampanye di beberapa wilayah. Ada yang turun langsung di atas pangung terbuka, di gedung-gedung, atau menyelami para konstituennya. Atau, lewat para simpatisannya dan terakhir lewat gambar-gambar yang memajang wajahnya. Semuanya dengan satu tujuan agar ia merebut dukungan konstituen agar ambisinya menjadi kepala pemerintahan di daerah dapat tercapai.
Yang menjadi parodi adalah saat keadaan perekonomian Indonesia yang menjadikan masayarakatnya memiliki daya belinya turun, mereka menjadikan sesuatunya menjadi lebih "utopia". Pendidikan gratis. Kesehatan gratis. Ini - itu gratis. Atau, mereka akan dapat meningkatkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat. Wow..., sebuah jargon yang berbahaya.
Memang mereka melakukan itu demi suara dapat terkumpul tanpa melihat implikasi logisnya. Dan, adalah hal yang wajar mereka lakukan seperti itu karena masyarakat kita pun masih belum bisa berpikir logis dalam mengikuti sebuah pemilu. Banyak di antara para konstituen masih melihat "Apa yang mereka berikan dan saya dapatkan dari mereka". Maka, tidak jarang para calon kontenstan pemilu "menghambur-hamburkan" kaos, payung, jam dinding, hibah ini-itu, pembagian sembako, dan lainnya.
Kalau kita pikir secara mendalam, seorang yang berambisi menjadi kepala pemerintahan sebenarnya ada beberapa tujuan. Pertama, mereka memang akan mengabdikan dirinya untuk perbaikan daerah dan masyrakatnya. Kedua, meningkatkan gengsi sosial. Ketiga, mendapatkan kekuasaan. Keempat, memperbaiki tingkat ekonomi. Dan, tentunya banyak tujuan lainnya. Maka, setelahnya mereka menjadi pemimpin, tidak sedikit yang melupakan masyarakatnya dan lebih banyak mementingkan diri dan keluarga serta kroninya. Oleh karena itu, jangan heran setelah mereka berkuasa "bagaimana agar kekuasan yang ia pegang tidak lepas" untuk tahun berikutnya. Caranya?
Tidak sedikit suratkabar, majalah, dan televisi melaporkan para birokrat yang menyelewengkan dan menguras uang negara untuk beragam tujuan. Tidak sedikit pula mereka berulah untuk kepentingan diri, keluarga, dan kroninya. Mereka mengumpulkan "dana taktis" berjumlah miliaran untuk maju ke tahun berikutnya. Maka, sangatlah beralasan bila Nur Wahid, Ketua MPR RI, menilai pelaksanaan Pilkada di beberapa kabupaten dan propinsi adalah sebuah tindakan pemborosan dan menguras uang negara cukup besar tanpa mendapatkan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Sementara seharusnya negara berpikir bagaimana mengalokasikan anggaran demi kemajuan dan pertumbuhan kualitas hidup masyarakat, tapi negara terus-menerus harus membiayai proses pemilihan; Pilkada; di banyak kabupaten dan propinsi yang jumlahnya triliunan rupiah. Di samping itu, Pilkada dapat menyebabkan instabilitas secara vertikal maupun horisontal di tengah-tengah masyarakat.
Jadi, Indonesia yang di ambang kemiskinan ini masih haruskah dananya terus terkuras untuk Pilkada? Dan, apakah pentingnya Pilkada buat kita secara langsung sebagai warga masyrakat? Bayangkan Indonesia memiliki 33 propinsi, dan setiap propinsi memiliki paling tidak 7 kabupten/kota sehingga ada 231 kabupaten/kota dan sebanyak minimal 231 kali proses Pilkada. Bila tiap Pilkada pemerintah pusat harus mengucurkan kocek setebal 2 triliun rupiah, maka sebanyak 462 triliun rupiah anggaran negara dialokasikan untuk proses Pilkada. Sungguh pemborosan dan sangat menguras devisa negara. Maka, pantas saja Indonesia ibarat orang sakit kronis yang terus mendapat tambahan jenis penyakit baru. Untuk sembuh (maju), nonsen. Wong gagal panen, banjir, longsor, suap, korupsi, pungli, gempa, dan bencana lainnya terus merongrong!!! SBY? Pusing!!!